Selasa, 30 April 2013


oleh, nurhasanah, ramadani, budi gunawan, dan david


A.  Sejarah Kaum Padri
Padri adalah sebuah nama di daerah Padang. Yang mana di daerah inilah awal mulanya diterapkaknnya gerakan puritanisme di Indonesia. Gerakaan puritanisme adalah sebuah gerakan pemurnian ajaran agama islam yang telah terpengaruh atau telah tercemari oleh ajaran-ajaran yang datang dari luar islam. Gerakan ini pertama kali di pelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, di Nejd. Berkat bantuan penguasa keluarga su’ud faham ini berkembang pesat di wilayah zajirah arabia, bahkan sempat menggoyahkan pemerintahan kerajaan turki ustmani.
Gerakan puritanisme ini dibawa masuk ke wilayah Indonesia oleh tiga orang kaum muda padri yang baru pulang kembali dari tanah suci selepas melaksanakan ibadah haji, mereka itu adalah haji miskin, haji sumanik, dan haji piobang pada tahun 1803 M. Mereka kemudian membentuk kelompok yang terkenal dengan kelompok Harimau Nan Salapan atau kaum muda padri mereka mengadakan penentangan terhadap prektek kehidupan beragama masyarakat Minang Kabau, yang telah terpengaruh oleh unsur-unsur tahayul, bid’ah, dan kurafat. Masyarakatnya sudah menyimpang jauh dari tradisi keagamaan yang telah ada.
Perjudian, penyabungan ayam, dan lain sebagainya adalah contoh dari sebagian kecil perbuatan mereka yang waktu itu telah merupakan perbuatan atau suatu hal yang biasa. Oleh karena itu, kedatangan tiga orang  haji ini, yang kemudian bersekutu dengan tuanku Nan Renceh dan tuanku Imam Bonjol, melakukan gerakan kemurnian ajaran Islam. Karena aktivitas mereka dianggap cukup membahayakan keberadaan kaum tua atau adat padri, maka kaum tua meminta bantuan Belanda pada tahun 1821-1837 M terjadilah perang padri.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu kaum Ulama mengalami kekalahan, Ulama dalam perang paderi dalam menghadapi Belanda, bukanlah mematahkan semangat para tokoh pejuang pembaharu itu, tetapi gerakannya semakin hebat.Gerakan pembaharuan itu tidak lagi bersifat politik agama, tetapi dialihkan kedalam gerakan pembaharuan pendidikan.Perang padri dianggap sebagai pembaharuan Islam karena tujuan dari perang padri adalah memiliki kekuasaan yang kuat dan dengan memiliki kekuatan atas kekuasaan kaum Ulama dapat menguatkan ajaran Islam yang telah banyak di tinggalkan.
Kondisi pada saat itu daerah Minangkabau jauh dari apa yang Islam ajarkan dan syariat oleh Agama Islam. para Ulama giat mengadakan ceramah-ceramah, pengajian, mendirikan Madrasah dan pondok pesantren yang diberi nama Sumatera Thawalib. Pengaruh gerakan ini lalu meluas keseluruh tanah air yang diikuti dengan bermunculannya berbagai organisasi Islam pada zaman pergerakan nasional di Indonesia pada Abad ke-20 Masehi.[1]
A.  Gerakan Padri
Gerakan padri, merupakan pergerakan keagamaan yang terinspirasi oleh gerakan wahabi. Gerakan ini pada awalnya merupakan gerakan pembaharuan (modernis) diawal abad 18, yang dilakukan Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya di Surau kuto Tuo, Agam.Kemunculan gerakan ini merupakan reaksi balik atas pengamalam agama yang dilakukan kaum Adat yang banyak menyimpang dari ajaran Islam.Gerakan ini kemudian mendapat sambutan dari ulama “tiga serangkai” Minangkabau, sekembalinya mereka dari Mekkah pada tahun 1803.Dalam melaksanakan dakwahnya yang berupaya mengikis khurafat dan bid’ah dalam praktek beragama umat Minangkabau, gerakan ini mengambil pendekatan keras dan radikal.
Dengan membawa semangat pembaharuan gerakan wahabi, mereka berusaha untuk mengikis habis praktik-praktik adat  dari unsur khurafat dan bid’ah. Upaya ini dilakukan baik melalui pelaksanaan pendidikan salaf disurau-surau, maupun langsung berdebat secara frontal dengan kaum adat.Upaya dakwah yang demikian kurang disenangi, bahkan mendapat tantangan keras dari kaum adat yang berfikiran ortodok.[2]
Pelaksanaan pemurnian yang dibawa para ulama Minangkabau tidak berjalan mulus.Bahkan dalam melaksanakan dakwahnya para ulama Minangkabau selalu harus berhadapan dengan kaum Adat.Hal yang serupa umpamanya juga dialami oleh H. Miskin. Melalui suraunya, ia mencoba melakukan serangkaian pembaharuan di Batu Tebal dan Pantai Sikat harus lari ke lintau. Akan tetapi usahanya tersebut mengalami hambatan.Padahal, bernagai pendekatan persuasif telah dilakukannya. Di antaranya, ia telah melakukan pendekatan dengan Penghulu Desa. Akan tetapi, ide pembaharuannya tetap ditolak oleh masyarakat setempat. Ketidak senangan kaum Adat terhadap kaum modernis dilampiaskan dengan cara menyerang dan membakar desa-desa di mana kaum modernis  menyebarkan ide pembaharuannya. Akibatnya banyak di anatara kaum modrnis yang terpaksa menyelamatkan diri dari satu desa ke desa yang lain, hingga ke Bukit Kemang. Di daerah ini, kaum modernis mendapat perlindungan dari Tuanku Nan Renceh, seorang murid kesayangan Tuanku Nan Tuo, bahkan mendukung gerakan kaum modernis dalam menyebarkan gerakan Wahabi. Disinilah awal terbentuknya Gerakan Paderi, dalam melaksanakan ide pembaharuannya.
Karena sering mendapat tantangan dari kaum Adat dan masyarakat setempat, kaum modernis tidak segan-segan melakukan penyerangan dan bahkan dengan membakar.Pendekatan ini akhirnya membuat Tuanku Nan Tuo tidak simpatik dan tidak mau menggunakan pengaruhnya untuk membantu perjuangan kaum Padri.Untuk itu, kaum Padri kemudian melakukan dukungan dengan para ulama lainnya yang memiliki pengaruh dalam komunitas masyarakat Minangkabau, di antaranya Tuanku Mansianang.
B.  Upaya Yang Dilakukan Kaum Padri
Upaya yang dilakukan kaum Padri dalam memurnikan ajaran Islam dari khurafat dan bid’ah, tetap berlangsung, meskipun dengan berbagai tantangan dan hambatan dari kaum Adat.Pada tahun 1870 pemerintah kolonial Belanda menerapkan undang-undang yang mengatur hidup rakyat banyak, termasuk kehidupan keagamaan mereka.Karena kebijakan dan perilaku-perilaku yang diterapkan oleh pemerintah kolonial dan kepentingan minoritas Kristen yang kontra produktif dengan kenyataan masyarakat pribumi yang beragama Islam, muncullah beberapa usaha perlawanan dalam bentuk perang.Salah satunya yang disebut perang padri (1821-1838) di Minangkabau.Agresi pembaharu ini disebut kaum paderi.[3]
 Dalam proses ini, sesungguhnya eksistensi kaum Padri dapat dilihat dari dua pendekatan. Pertama, secara eksternal, gerakan ini gerakan ini telah berhasil membangkitkan semangat nasionalisme umat Islam, terutama intervensi kolonial Belanda.Bahkan keberadaan gerakan ini telah merepotkan dan telah menyebabkan kolonial Belanda menelan kerugian yang cukup besar, baik materi maupun non materi.sikap konsistensi ini telah membuktikan bagaimana sesungguhnya surau telah ikut andil dalam membentuk sikap istiqamah umat Islam.[4]
Kedua secara internal, sesungguhnya gerakan ini gagal dalam membumikan pemikiran pembaharuannya.Hal ini dapat terlihat dari suburnya praktik adat yang bersifat sinkretis dalam praktik kehidupan beragama umat Islam Minangkabau.Kegagalan ini menurut hemat penulis karena pendekatan “keras” yang dilakukan kaum Padri dalam menyampaikan gerakan pembaharuannya. Di sisi lain, karena islam yang masuk di Minangkabau lebih didominasi melalui pendekatan tarekat. Pendekatan penyiaran Islam dilakukan secara lunak.Akibatnya beberapa praktik adat yang sinkretis masih tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial umat Islam Minangkabau.
Pada era sesudahnya meskipun gerakan Padri gagal dalam upaya meluruskan praktik ibadat umat Islam dari unsur khurafat dan bid’ah, namun gerakan pembaharuan tetap berlangsung.Sebagian besar dari tokoh gerakan ini merupakan ulama Minangkabau yang pernah belajar di Mekkah, dibawah  bimbingan syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi yang bermazhab Syafi’i. kemerdekaan berfikir dan berijtihad yang ditanamkan Ahmad Khatib meresap pada murid-muridnya. Akan tetapi tidak semua hal mereka sepakat dengan pandangan gurunya itu.
Sementara itu, sejak awal 1900-an gelombang besar kedua pembaharuan Islam kembali melanda Minangkabau. Kali ini di bawa murid-murid Syekh Ahmad khatib.Mereka yang biasa disebut Kaum Muda ini dengan sengit menyerang Kaum Tua, yang pada umumnya adalah para pemimpin dan pengajar di surau-surau.Kaum Muda menuduh surau dengan praktek tarekatnya, penuh dengan bid’ah dan khurafat, dan karena itu perlu diberantas.[5]
Karena itulah, Kaum Muda mendirikan Madrasah modern sebagai alternatif pendidikan surau.Dan mereka sukses besar dengan upaya ini, sehingga bahkan banyak surau yang ditransformasikan menjadi Madrasah.Akibatnya murid surau merosot hebat.Tahun 1933 surau dilaporkan memiliki murid hanya sekitar 9.285 orang, sementara Madrasah mempunyai 25.292 pelajar.


REFERENSI

Azra, Azyumadri, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenuim Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.

Nizar, Samsul, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam: Potret Timur Tengah Eraawal dan Indonesia, Ciputat: Quantum Teaching, 2005.

Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

http//Islamikeducation-atom.



[1]http//Islamikeducation-atom. selasa, 10-04-2013
[2] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam: Potret Timur Tengah Eraawal dan Indonesia, Ciputat: Quantum Teaching, 2005, h. 82-83.
[3]Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, h. 74.
[4] Suwendi, 84-85
[5]Azyumadri Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenuim Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, h. 122

Tidak ada komentar:

Posting Komentar