oleh, nurhasanah, ramadani, budi gunawan, dan david
A. Sejarah Kaum Padri
Padri adalah
sebuah nama di daerah Padang. Yang mana di daerah inilah awal mulanya
diterapkaknnya gerakan puritanisme di Indonesia. Gerakaan puritanisme adalah
sebuah gerakan pemurnian ajaran agama islam yang telah terpengaruh atau telah
tercemari oleh ajaran-ajaran yang datang dari luar islam. Gerakan ini pertama
kali di pelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, di Nejd. Berkat bantuan
penguasa keluarga su’ud faham ini berkembang pesat di wilayah zajirah arabia,
bahkan sempat menggoyahkan pemerintahan kerajaan turki ustmani.
Gerakan puritanisme ini dibawa
masuk ke wilayah Indonesia oleh tiga orang kaum muda padri yang baru pulang
kembali dari tanah suci selepas melaksanakan ibadah haji, mereka itu adalah
haji miskin, haji sumanik, dan haji piobang pada tahun 1803 M. Mereka kemudian
membentuk kelompok yang terkenal dengan kelompok Harimau Nan Salapan atau kaum
muda padri mereka mengadakan penentangan terhadap prektek kehidupan beragama
masyarakat Minang Kabau, yang telah terpengaruh oleh unsur-unsur tahayul,
bid’ah, dan kurafat. Masyarakatnya sudah menyimpang jauh dari tradisi keagamaan
yang telah ada.
Perjudian,
penyabungan ayam, dan lain sebagainya adalah contoh dari sebagian kecil
perbuatan mereka yang waktu itu telah merupakan perbuatan atau suatu hal yang
biasa. Oleh karena itu, kedatangan tiga orang
haji ini, yang kemudian bersekutu dengan tuanku Nan Renceh dan tuanku
Imam Bonjol, melakukan gerakan kemurnian ajaran Islam. Karena aktivitas mereka
dianggap cukup membahayakan keberadaan kaum tua atau adat padri, maka kaum tua
meminta bantuan Belanda pada tahun 1821-1837 M terjadilah perang padri.
Dalam pertempuran yang tidak
seimbang itu kaum Ulama mengalami kekalahan, Ulama dalam perang paderi dalam
menghadapi Belanda, bukanlah mematahkan semangat para tokoh pejuang pembaharu
itu, tetapi gerakannya semakin hebat.Gerakan pembaharuan itu tidak lagi
bersifat politik agama, tetapi dialihkan kedalam gerakan pembaharuan
pendidikan.Perang padri dianggap sebagai pembaharuan Islam karena tujuan dari
perang padri adalah memiliki kekuasaan yang kuat dan dengan memiliki kekuatan
atas kekuasaan kaum Ulama dapat menguatkan ajaran Islam yang telah banyak di
tinggalkan.
Kondisi pada saat itu daerah
Minangkabau jauh dari apa yang Islam ajarkan dan syariat oleh Agama Islam. para
Ulama giat mengadakan ceramah-ceramah, pengajian, mendirikan Madrasah dan
pondok pesantren yang diberi nama Sumatera Thawalib. Pengaruh gerakan ini lalu
meluas keseluruh tanah air yang diikuti dengan bermunculannya berbagai organisasi
Islam pada zaman pergerakan nasional di Indonesia pada Abad ke-20 Masehi.[1]
A.
Gerakan Padri
Gerakan padri, merupakan pergerakan keagamaan yang
terinspirasi oleh gerakan wahabi. Gerakan ini pada awalnya merupakan gerakan
pembaharuan (modernis) diawal abad 18, yang dilakukan Tuanku Nan Tuo dan
murid-muridnya di Surau kuto
Tuo, Agam.Kemunculan gerakan ini merupakan reaksi balik atas pengamalam agama
yang dilakukan kaum Adat yang banyak menyimpang dari ajaran Islam.Gerakan ini
kemudian mendapat sambutan dari ulama “tiga serangkai” Minangkabau,
sekembalinya mereka dari Mekkah pada tahun 1803.Dalam melaksanakan dakwahnya
yang berupaya mengikis khurafat dan bid’ah dalam praktek beragama umat
Minangkabau, gerakan ini mengambil pendekatan keras dan radikal.
Dengan
membawa semangat pembaharuan gerakan wahabi, mereka berusaha untuk mengikis
habis praktik-praktik adat dari unsur
khurafat dan bid’ah. Upaya ini dilakukan baik melalui pelaksanaan pendidikan
salaf disurau-surau, maupun langsung berdebat secara frontal dengan kaum
adat.Upaya dakwah yang demikian kurang disenangi, bahkan mendapat tantangan
keras dari kaum adat yang berfikiran ortodok.[2]
Pelaksanaan
pemurnian yang dibawa para ulama Minangkabau tidak berjalan mulus.Bahkan dalam
melaksanakan dakwahnya para ulama Minangkabau selalu harus berhadapan dengan
kaum Adat.Hal yang serupa umpamanya juga dialami oleh H. Miskin. Melalui
suraunya, ia mencoba melakukan serangkaian pembaharuan di Batu Tebal dan Pantai
Sikat harus lari ke lintau. Akan tetapi usahanya tersebut mengalami
hambatan.Padahal, bernagai pendekatan persuasif telah dilakukannya. Di
antaranya, ia telah melakukan pendekatan dengan Penghulu Desa. Akan tetapi, ide
pembaharuannya tetap ditolak oleh masyarakat setempat. Ketidak senangan kaum
Adat terhadap kaum modernis dilampiaskan dengan cara menyerang dan membakar
desa-desa di mana kaum modernis menyebarkan
ide pembaharuannya. Akibatnya banyak di anatara kaum modrnis yang terpaksa
menyelamatkan diri dari satu desa ke desa yang lain, hingga ke Bukit Kemang. Di
daerah ini, kaum modernis mendapat perlindungan dari Tuanku Nan Renceh, seorang
murid kesayangan Tuanku Nan Tuo, bahkan mendukung gerakan kaum modernis dalam
menyebarkan gerakan Wahabi. Disinilah awal terbentuknya Gerakan Paderi, dalam
melaksanakan ide pembaharuannya.
Karena
sering mendapat tantangan dari kaum Adat dan masyarakat setempat, kaum modernis
tidak segan-segan melakukan penyerangan dan bahkan dengan membakar.Pendekatan
ini akhirnya membuat Tuanku Nan Tuo tidak simpatik dan tidak mau menggunakan
pengaruhnya untuk membantu perjuangan kaum Padri.Untuk itu, kaum Padri kemudian
melakukan dukungan dengan para ulama lainnya yang memiliki pengaruh dalam
komunitas masyarakat Minangkabau, di antaranya Tuanku Mansianang.
B. Upaya Yang Dilakukan Kaum
Padri
Upaya
yang dilakukan kaum Padri dalam memurnikan ajaran Islam dari khurafat dan
bid’ah, tetap berlangsung, meskipun dengan berbagai tantangan dan hambatan dari
kaum Adat.Pada tahun 1870 pemerintah kolonial Belanda menerapkan undang-undang
yang mengatur hidup rakyat banyak, termasuk kehidupan keagamaan mereka.Karena
kebijakan dan perilaku-perilaku yang diterapkan oleh pemerintah kolonial dan
kepentingan minoritas Kristen yang kontra produktif dengan kenyataan masyarakat
pribumi yang beragama Islam, muncullah beberapa usaha perlawanan dalam bentuk
perang.Salah satunya yang disebut perang padri (1821-1838) di
Minangkabau.Agresi pembaharu ini disebut kaum paderi.[3]
Dalam proses ini, sesungguhnya eksistensi kaum
Padri dapat dilihat dari dua pendekatan. Pertama, secara eksternal, gerakan ini
gerakan ini telah berhasil membangkitkan semangat nasionalisme umat Islam,
terutama intervensi kolonial Belanda.Bahkan keberadaan gerakan ini telah
merepotkan dan telah menyebabkan kolonial Belanda menelan kerugian yang cukup
besar, baik materi maupun non materi.sikap konsistensi ini telah membuktikan
bagaimana sesungguhnya surau telah ikut andil dalam membentuk sikap istiqamah
umat Islam.[4]
Kedua secara internal, sesungguhnya gerakan ini gagal dalam membumikan
pemikiran pembaharuannya.Hal ini dapat terlihat dari suburnya praktik adat yang
bersifat sinkretis dalam praktik kehidupan beragama umat Islam
Minangkabau.Kegagalan ini menurut hemat penulis karena pendekatan “keras” yang
dilakukan kaum Padri dalam menyampaikan gerakan pembaharuannya. Di sisi lain,
karena islam yang masuk di Minangkabau lebih didominasi melalui pendekatan
tarekat. Pendekatan penyiaran Islam dilakukan secara lunak.Akibatnya beberapa
praktik adat yang sinkretis masih tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari kehidupan sosial umat Islam Minangkabau.
Pada era sesudahnya meskipun gerakan Padri gagal dalam upaya meluruskan
praktik ibadat umat Islam dari unsur khurafat dan bid’ah, namun gerakan
pembaharuan tetap berlangsung.Sebagian besar dari tokoh gerakan ini merupakan
ulama Minangkabau yang pernah belajar di Mekkah, dibawah bimbingan syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi
yang bermazhab Syafi’i. kemerdekaan berfikir dan berijtihad yang ditanamkan
Ahmad Khatib meresap pada murid-muridnya. Akan tetapi tidak semua hal mereka
sepakat dengan pandangan gurunya itu.
Sementara itu, sejak awal 1900-an gelombang besar kedua pembaharuan Islam
kembali melanda Minangkabau. Kali ini di bawa murid-murid Syekh Ahmad
khatib.Mereka yang biasa disebut Kaum Muda ini dengan sengit menyerang Kaum
Tua, yang pada umumnya adalah para pemimpin dan pengajar di surau-surau.Kaum
Muda menuduh surau dengan praktek tarekatnya, penuh dengan bid’ah dan khurafat,
dan karena itu perlu diberantas.[5]
Karena itulah, Kaum Muda mendirikan Madrasah modern sebagai alternatif
pendidikan surau.Dan mereka sukses besar dengan upaya ini, sehingga bahkan
banyak surau yang ditransformasikan menjadi Madrasah.Akibatnya murid surau
merosot hebat.Tahun 1933 surau dilaporkan memiliki murid hanya sekitar 9.285
orang, sementara Madrasah mempunyai 25.292 pelajar.
REFERENSI
Azra, Azyumadri, Pendidikan Islam Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenuim Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.
Nizar, Samsul, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran
Pendidikan Islam: Potret Timur Tengah Eraawal dan Indonesia, Ciputat:
Quantum Teaching, 2005.
Suwendi, Sejarah
& Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
http//Islamikeducation-atom.
[1]http//Islamikeducation-atom.
selasa, 10-04-2013
[2] Samsul
Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam: Potret Timur
Tengah Eraawal dan Indonesia, Ciputat: Quantum Teaching, 2005, h. 82-83.
[3]Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, h. 74.
[4] Suwendi, 84-85
[5]Azyumadri
Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenuim Baru,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, h. 122
Tidak ada komentar:
Posting Komentar