Selasa, 30 April 2013


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Periodisasi pembentukan hukum Islam, beberapa ahli berbeda pendapat mengenai jumlah periode dalam pembentukan hukum Islam ini.
Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa sejarah pembentukan hukum Islam ini telah mengalami 4 periode yaitu periode Rasulullah SAW., periode sahabat, periode tadwin/kodifikasi dan periode Taklid.[1]
Berbeda dengan Ahmad Hanafi yang mengatakan bahwa terdapat 5 fase kehidupan hukum Islam, di mana tiap-tiap fase mempunyai ciri khasnya sendiri, yatu fase permulaan hukum Islam dimulai sejak kebangkitan Rasulullah SAW. sampai wafatnya, fase persiapan hukum Islam dimulai dari masa khalifah pertama sampai selesainya masa sahabat atau dari tahun 11 H sampai akhir abad pertama hijriah, fase pembinaan dan pembukuan hukum Islam serta munculnya imam-imam mujtahidin besar dari awal-awal abad kedua hijriah sampai pertengahan abad keempat hijriah, fase kemunduran hukum Islam sebagai akibat merajalelanya taqlid dan kebekuan dari pertengajan abad keempat hijriah sampai akhir-akhir abad ketiga belas hijriah yaikni sampai lahirnya buku Majallatul Ahkamil Adliyyah, dan terakhir fase pembangunan dimulai dari lahirnya buku tersebut sampai sekarang.[2]
Sedangkan menurut A. Hasjmy, para ahli sejarah telah membagi Tasyri’ Islamy pada 6 periode, yaitu Tasyri’ pada masa hidup Rasul, Tasyri’ dalam zaman para sahabat utama (Khulafaur Rasyidin), Tasyri’ pada masa para sahabat dan tabiin yang sezaman dengan mereka, Tasyri’ dimana fiqh telah menjadi salah satu cabang ilmu yang penting, Tasyri’ dalam masa di mana masalah-masalah fiqh dalam periode jadal (debat) untuk membuktikan masalah-masalah yang diterima dari para imam, dan terakhir Tasyri’ dalam masa taklid melulu yaitu masa gelap gulita dalam sejarah hukum Islam.[3]
Namun terlepas dari perbedaan-perbedaan para pakar tersebut, pemateri akan lebih mengkhususkan pembahasan ini pada hukum Islam pada masa Rasulullah SAW. yang akan kami uraikan di bab selanjutnya.

B.   Rumusan Masalah
       1.  Bagaimana pembinaan hukum pada masa Nabi Muhammad periode Mekkah?
       2.  Bagaimana pembinaan hukum pada masa Nabi Muhammad periode Madinah?
BAB II
PEMBAHASAN

                        Periode Rasulullah SAW. ini berlangsung relatif singkat tidak lebih dari 22 tahun beberapa bulan. Namun pengaruhnya sangat besar dan penting, karena telah mewariskan beberapa ketetapan hukum dalam alquran dan sunnah. Periode ini dibagi menjadi dua, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah.
                       
A.   Periode Mekkah
                 Periode Mekkah ialah sejak Rasulullah SAW. masih menetap di Mekkah selama 12 tahun beberapa bulan, sejak beliau dilantik menjadi Rasul hingga hijrah ke Madinah. Pada periode ini umat Islam keadaannya masih terisolir, masih sedikit kuantitasnya dan kapasitasnya masih lemah, belum bisa membentuk komunitas umat yang mempunyai lembaga pemerintahan yang kuat. Oleh karena itu, perhatian Rasulullah pada periode ini dicurahkan kepada aktivitas penyebaran dakwag dalam rangka proyek penanaman tauhid kepada Allah dan meninggalkan praktek-praktek penyembahan berhala dan patung-patung. Di samping itu, beliau tetap berusaha mewaspadai orang-orang yang selalu berusaha menghalangi jalannya dakwah, dan memperdaya orang-orang yang beriman dengan berbagai macam tipu daya. Dengan situasi dan kondisi seperti itu maka fase ini belum ada kesempatan membentuk perundang-undangan, tata pemerintahan, perdagangan dan lain-lain.[4]
                 Periode Mekkah dikenal sebagai periode penanaman akidah dan akhlak. Ayat-ayat alquran yang turun dalam periode ini tidak menyinggung hukum seperti hukum keluarga, hukum waris, hukum pidana, tetapi banyak berbicara tentang:
       1.       Akidah, seperti percaya kepada Allah, hari akhir, hal yang gaib. Bersama itu alquran menyebut kejadian alam semesta sebagai pengukuh.
       2.       Akhlak. Banyak ayat alquran menyuruh menjauhi perilaku tercela, membunuh, curang dalam timbangan dan lain-lain. Kritik terhadap cinta harta berlebihan dan pengabaian fakir miskin dan anak yatim tidak lepas dari pembinaan akhlak.[5]
                 Oleh karena itu, pada surat-surat makkiyah alquran seperti surat Yunus, ar-Ra’ad, al-Furqan, Yasin, al-Hadid, dan lain-lain tidak terdapat ayat-ayat yang membahas tentang hukum-hukum aktual (amaliah). Akan tetapi justru yang banyak pembahasannya adalah seputar persoalan-persoalan doktrin teologi dan aqidah, akhlak dan ibarat keteladanan dari proses-proses perjalanan hidup umat-umat terdahulu.[6]
                 Ada beberapa hal yang menyebabkan ajaran Rasulullah SAW. tidak diterima masyarakat Mekkah terutama dalam aspek ekonomi.
1.       Ajaran tauhid menyalahkan kepercayaan dan praktek menyembah berhala. Bila menyembah berhala dihapuskan maka patung berhala tidak akan laku lagi. Hal ini mengancam kehidupan ekonomi produsen berhala. Karena itu ajaran tauhid ditolak oleh masyarakat penyembah berhala.
2.       Ajaran Islam mengecam perilaku ekonomi masyarakat Mekkah yang mempunyai ciri pokok menumpuk harta dan mengabaikan fakir, miskin serta anak yatim.
          Surat al-Maun, sebuah surat yang amat membangkitkan kemarahan orang Mekkah dan sekitarnya karena surat ini menegaskan bahwa “sembahyang” yang mereka lakukan itu tidak berguna bahkan pembohongan terhadap agama apabila tidak disertai penyantunan terhadap fakir miskin dan anak yatim. Percuma saja orang mengaku beragama apabila tidak mau memikirkan kehidupan ekonomi rakyat yang sengsara. Dalam surat itu disebutkan:

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya...”
          Sistem ekonomi yang sudah mapan itu akan mengurangi keleluasaan orang-orang kaya yang hendak semaunya terhadap orang miskin uuntuk dijadikan budak. Karena kritik pedas alquran itu maka terhadap Nabi dan sebagian sahabat beliau pernah diadakan boikot ekonomi selama lebih kurang 3 tahun.
          Tampaknya syariat Islam periode Mekkah benar-benar ingin menunjukkan konsep keadilan ekonomi. Struktur masyarakat kapitalis yang dipertahanan di periode Mekkah ini dikritik habis oleh syariat Islam. Islam juga menunjukkan bahwa riba yang merupakan prinsip ekonomi mereka adalah cara palsu dalam meningkatkan harta. Riba yang mereka praktekkan bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan. Sebaliknya, syariat Islam menawarkan zakat. Ayat periode Mekkah yang membicarakan ini adalah surat al-Rum ayat 39 yang berbunyi:

“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
                   Karena itu pada periode Mekkah sudah turun ayat tentang zakat. Hanya apilkasi zakat periode ini karena masih dalam proses penataan aturan, maka belum sedetail di periode Madinah.
                   Zakat adalah perilaku ekonomi yang amat simpatik. Kebaikan kepada orang lain melalui zakat akan kembali kepada pelakunya. Ini merupakan pengajaran yang amat halus dari alquran, agar disadari bahwa penghargaan, penghormatan dan kebaikan dari orang lain yang diharapkan itu sebenarnya proyeksi dari kebaikan kita kepada mereka. Sebaliknya penindasan dan sikap kasar kita hanya akan mendatangkan kebencian mereka yang suatu saat pasti akan diterima. Maka benar bahwa berbagai peraturan di periode Mekkah lebih didominasi oleh muatan pendidikan dan akhlak yang amat lembut.[7]

B.   Periode Madinah
          Periode Madinah ialah sejak Rasulullah SAW. hijrah dari Mekkah ke Madinah hingga wafatnya tahun 11 H/632 M, yakni sekitar 10 tahun lamanya. Pada fase ini Islam sudah kuat, kuantitas umat Islam sudah banyak dan telah mempunyai tata pemerintahan tersendiri sehingga media-media dakwah berlangsung dengan aman dan damai.
          Keadaan seperti inilah yang mendoronh perlu adanya tasyri’ dan pembentukan perundang-undangan yang mengatur perhubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lain, dan mengatur perhubungan atau kontak komunikasi dan interaksi mereka dengan kalangan non muslim, baik di masa damai maupun di masa perang.
          Oleh karena itu, maka di Madinah disyariatkanlah berupa hukum-hukum pernikahan, perceraian, warisan, perjanjian, hutang-piutang, kepidanaan dan lain-lain. Dengan demikian pada surat-surat Madaniyah di dalam alquran seperti surat al-baqarah, ali imran, an-nisa, al-maidah, al-anfal, at-taubah an-nuur, al-ahzab banyak memuat ayat-ayat pembahasan hukum, di samping memuat ayat-ayat tentang akidah, akhlak dan kisah-kisah.[8]
          Dapat dimengerti mengapa produk hukum ada di periode Madinah, karena:
1.       Dalam periode ini diperkirakan orang Islam sudah memiliki modal akhlak/mental dan akidah yang kuat sebagai landasan melaksanakan tugas-tugas lain.
2.       Hukum itu akan dapat terlaksana bila dilindungi oleh kekuatan politik di periode Madinah. Rasulullah dipercaya oleh masyarakatnya sebagai pemegang kekuasaan politik karena keberhasilannya menyelesaikan perselisihan di masyarakat. Masyarakat Madinah yang kemudian terdiri atas penduduk asli (Anshar) dan imigran dari Mekkah (Muhajirin) tidak lagi merasakan kesukuan sebagai ikatan solidaritas, tetapi kepercayaan agama.[9]

C.   Sebab-sebab timbulnya keputusan hukum
                        Seringkali hukum Islam ditetapkan berdasarkan peristiwa tertentu atau pertanyaan sahabat kepada Nabi, kemudian turunlah ayat Al-qur’an. Misalnya:
a.    Hukum tentang kewajiban menyerahkan harta warisan kepada anak yatim (An-Nisa:2).
b.   Derajat wanita. Menurut adat jahili, wanita yang ditinggal mati suaminya tidak mempunyai hak warisan, bahkan dirinya dijadikan harta warisan oleh kaum pria yang mempunyai hubungan darah dengan suami yang meninggal itu. Apakah akan dikawani sendiri, atau dikawinkan dengan orang lain dengan harapan, maharnya diterima oleh kaum pria tersebut. Kemudian turunlah ayat Q.S. An-Nisa:19.
      Atas dasar wahyu yang turun itu Nabi menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat Islam. Tetapi terkadang ada persoalan yang penyelesaiannya tidak disebut oleh al-qur’an. Dalam hal ini Nabi berijtihad. Kalau ijtihadnya tidak tepat, turun ayat al-qur’an yang menjelaskan hukum yang sebenarnya. Tetapi kalau ijtihadnya benar ayat al-qur’an tidak perlu turun. Dengan demikian, ungkapan bahwa Nabi itu ma’shum (Nabi terjaga dari kesalahan) adalah dalam pengertian.[10]
D. Pengaruh Tasyri’ yang Diwariskan oleh Periode Rasulullah SAW
 Sumber penetapan hukum Islam yang pertama adalah wahyu Allah yang daripadanya timbul ayat-ayat hukum dalam al-qur’an. Sedang sumber kedua adalah ijtihad Rasul yang daripadanya timbul hadits-hadits hukum. Koleksi ayat-ayat dan hadits-hadits hukum inilah sebagai hasil dari pengaruh tasyri’ yang diwariskan oleh periode Rasul SAW. Dan inilah yang menjadi undang-undang dasar bagi umat Islam. Ia merupakan tempat rujukan bagi perundang-undangan dalam islam dan tempat rujukan setiap aktivitas para mujtahid. Kalau terjadi suatu peristiwa, sedang ketetapan hukumnya sudah ada yang jelas dalam nas, baik dalam ayat-ayat ataupun hadits-hadits Nabi SAW, maka tidak ada jalan untuk menggunakan kekuatan ijtihad bagi seorang mujtahid atas peristiwa hukum itu. Akan tetapi kalau tidak ada ketetapan hukumnya yang digariskan dari nas itu maka disitulah terdapat lapangan ijtihad. Hanya saja bagi seorang mujtahid dalam ijtihadnya, harus berjalan sesuai dengan koleksi nas (ayat dan hadits) di atas dengan cara qiyas atau analogi, yakni mengambil persamaan illat atau sebab pada kejadian baru itu dengan sesuatu yang sudah ada ketetapan hukumnya, atau mengambil petunjuk dari jiwa nas itu, ma’qul (rasional)-nya dan prinsip-prinsip umumnya. Tegasnya bahwa hasil ijtihad dari seorang mujtahid itu tidak boleh bertentangan dengan nas itu sendiri atau menyalahi prinsip-prinsipnya.[11]
D. Perbedaan Ayat Mekkah dengan Ayat Madinah
Telah diuraikan, bahwa alqur’an turun dalam dua muddah: Masa Mekkah dan Masa Madinah.
Ayat-ayat yang turun dalam dua masa itu, satu sama lain ada perbedaannya. Di antara perbedaan-perbedaan antara jenis ayat itu, yaitu:
1.         Pendek dan panjang
Adapun ayat-ayat Mekkah pada umumnya pendek-pendek, sedangkan ayat Madinah panjang-panjang. Hal ini dapat dibuktikan, bahwa surat-surat Madinah melebihi sedikit dari 11/30 alqur’an dan bilangan ayatnya 1.456, artinya sedikit lebih dari separuh kumpulan seluruh ayat alqr’an.
2.         Berbeda pada Khitab
Dalam ayat-ayat Madinah, ada galibnya kepada orang banyak di-khitab-kan dengan panggilan: “ Wahai orang-orang yang beriman”, dan sedikit sekali dengan sebutan: “Wahai manusia!” Sdangkan khitab yang terdapat dalam ayat Mekkah sebaliknya.
3.         Dalam Ayat Mekkah tak ada Tasyri’
Dalam ayat-ayat Mekkah tidak terdapat sedikit pun unsur “Tasyri’ terurai”, tetapi sebahagian besar ayat-ayatnya mengenai iman, tabsyir, tanzir, akhlak. Sedangkan “Tasyri’ terurai” pada umumnya terdapat dalam ayat-ayat Madinah.
Isi alqur’an terdiri dari tiga kelompok masalah, yaitu:
a). Ayat-ayat yang berhubungan dengan keimanan dan ini termasuk bidang pembahasan usuluddin.
b) ayat-ayat yang berhubungan dengan pekerjaan hati dan perasaan, seperti anjuran berkhlak mulia, dan ini termasuk dalam pembahasan ilmu akhlak
c) ayat-ayayt  yang berhubungan dengan pekerjaan anggota badan yang mengenai denngan suruh dan larang serta takhyir, dan ini termasuk bidang pembahasan para ahli hikum (fuqaha).[12]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
        Periode Rasulullah SAW. ini berlangsung relatif singkat tidak lebih dari 22 tahun beberapa bulan. Namun pengaruhnya sangat besar dan penting, karena telah mewariskan beberapa ketetapan hukum dalam alquran dan sunnah. Periode ini dibagi menjadi dua, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah.
Seringkali hukum Islam ditetapkan berdasarkan peristiwa tertentu atau pertanyaan sahabat kepada Nabi, kemudian turunlah ayat alqur’an. Misalnya:
a.    Hukum tentang kewajiban menyerahkan harta warisan kepada anak yatim
b.   Derajat wanita.
Koleksi ayat-ayat dan hadits-hadits hukum inilah sebagai hasil dari pengaruh tasyri’ yang diwariskan oleh periode Rasul SAW. Dan inilah yang menjadi undang-undang dasar bagi umat Islam. Ia merupakan tempat rujukan bagi perundang-undangan dalam islam dan tempat rujukan setiap aktivitas para mujtahid.Tegasnya bahwa hasil ijtihad dari seorang mujtahid itu tidak boleh bertentangan dengan nas itu sendiri atau menyalahi prinsip-prinsipnya.


[1]Abdul Wahab Khallaf.Sejarah Pembentukan dan Perkembangan hukum Islam.Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.2001.h.7
[2]Ahmad Hanafi.Pengantar dan Sejarah hukum Islam.Jakarta:Bulan Bintang.1970.h.181
[3]A.Hasjmy.Sejarah Kebudayaan Islam.Jakarta:Bulan Bintang.1995.h.113
[4]Abdul Wahab Khallaf..Sejarah Pembentukan dan Perkembangan hukum Islam.h.8-9
[5]Muhammad Zuhri.Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah.Jakarta:PT RajaGrafido Persada.1996.h.9
[6]Abdul Wahab Khallaf.Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam.h.9
[7]Muhammad Zuhri.Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah.h.10-13
[8]Abdul Wahab Khallaf.Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam.h.9
[9]Muhammad Zuhri.Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah.h.13-14
[10]Muhammad Zuhri.Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah.h.23-24
[11]Abdul Wahab Khallaf.Sejarah Pembentukan dan Perkembangan hukum Islam.h.28.
[12]A.Hasjmy.Sejarah Kebudayaan Islam.Jakarta:Bulan Bintang.1995.h.120-121.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar