BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Periodisasi
pembentukan hukum Islam, beberapa ahli berbeda pendapat mengenai jumlah periode
dalam pembentukan hukum Islam ini.
Abdul Wahab Khallaf
mengatakan bahwa sejarah pembentukan hukum Islam ini telah mengalami 4 periode
yaitu periode Rasulullah SAW., periode sahabat, periode tadwin/kodifikasi dan
periode Taklid.[1]
Berbeda dengan Ahmad
Hanafi yang mengatakan bahwa terdapat 5 fase kehidupan hukum Islam, di mana
tiap-tiap fase mempunyai ciri khasnya sendiri, yatu fase permulaan hukum Islam
dimulai sejak kebangkitan Rasulullah SAW. sampai wafatnya, fase persiapan hukum
Islam dimulai dari masa khalifah pertama sampai selesainya masa sahabat atau
dari tahun 11 H sampai akhir abad pertama hijriah, fase pembinaan dan pembukuan
hukum Islam serta munculnya imam-imam mujtahidin besar dari awal-awal abad
kedua hijriah sampai pertengahan abad keempat hijriah, fase kemunduran hukum
Islam sebagai akibat merajalelanya taqlid dan kebekuan dari pertengajan abad
keempat hijriah sampai akhir-akhir abad ketiga belas hijriah yaikni sampai
lahirnya buku Majallatul Ahkamil Adliyyah, dan terakhir fase pembangunan
dimulai dari lahirnya buku tersebut sampai sekarang.[2]
Sedangkan menurut A.
Hasjmy, para ahli sejarah telah membagi Tasyri’ Islamy pada 6 periode,
yaitu Tasyri’ pada masa hidup Rasul, Tasyri’ dalam zaman para
sahabat utama (Khulafaur Rasyidin), Tasyri’ pada masa para sahabat dan tabiin
yang sezaman dengan mereka, Tasyri’ dimana fiqh telah menjadi salah satu
cabang ilmu yang penting, Tasyri’ dalam masa di mana masalah-masalah
fiqh dalam periode jadal (debat) untuk membuktikan masalah-masalah yang
diterima dari para imam, dan terakhir Tasyri’ dalam masa taklid melulu
yaitu masa gelap gulita dalam sejarah hukum Islam.[3]
Namun terlepas dari perbedaan-perbedaan
para pakar tersebut, pemateri akan lebih mengkhususkan pembahasan ini pada
hukum Islam pada masa Rasulullah SAW. yang akan kami uraikan di bab
selanjutnya.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana pembinaan hukum pada masa Nabi
Muhammad periode Mekkah?
2. Bagaimana pembinaan hukum pada masa Nabi
Muhammad periode Madinah?
BAB
II
PEMBAHASAN
Periode Rasulullah SAW.
ini berlangsung relatif singkat tidak lebih dari 22 tahun beberapa bulan. Namun
pengaruhnya sangat besar dan penting, karena telah mewariskan beberapa
ketetapan hukum dalam alquran dan sunnah. Periode ini dibagi menjadi dua, yaitu
periode Mekkah dan periode Madinah.
A. Periode
Mekkah
Periode Mekkah ialah sejak
Rasulullah SAW. masih menetap di Mekkah selama 12 tahun beberapa bulan, sejak
beliau dilantik menjadi Rasul hingga hijrah ke Madinah. Pada periode ini umat
Islam keadaannya masih terisolir, masih sedikit kuantitasnya dan kapasitasnya
masih lemah, belum bisa membentuk komunitas umat yang mempunyai lembaga
pemerintahan yang kuat. Oleh karena itu, perhatian Rasulullah pada periode ini
dicurahkan kepada aktivitas penyebaran dakwag dalam rangka proyek penanaman
tauhid kepada Allah dan meninggalkan praktek-praktek penyembahan berhala dan
patung-patung. Di samping itu, beliau tetap berusaha mewaspadai orang-orang
yang selalu berusaha menghalangi jalannya dakwah, dan memperdaya orang-orang
yang beriman dengan berbagai macam tipu daya. Dengan situasi dan kondisi
seperti itu maka fase ini belum ada kesempatan membentuk perundang-undangan,
tata pemerintahan, perdagangan dan lain-lain.[4]
Periode Mekkah dikenal sebagai
periode penanaman akidah dan akhlak. Ayat-ayat alquran yang turun dalam periode
ini tidak menyinggung hukum seperti hukum keluarga, hukum waris, hukum pidana,
tetapi banyak berbicara tentang:
1. Akidah,
seperti percaya kepada Allah, hari akhir, hal yang gaib. Bersama itu alquran
menyebut kejadian alam semesta sebagai pengukuh.
2. Akhlak.
Banyak ayat alquran menyuruh menjauhi perilaku tercela, membunuh, curang dalam
timbangan dan lain-lain. Kritik terhadap cinta harta berlebihan dan pengabaian
fakir miskin dan anak yatim tidak lepas dari pembinaan akhlak.[5]
Oleh karena itu, pada
surat-surat makkiyah alquran seperti surat Yunus, ar-Ra’ad, al-Furqan, Yasin,
al-Hadid, dan lain-lain tidak terdapat ayat-ayat yang membahas tentang
hukum-hukum aktual (amaliah). Akan tetapi justru yang banyak pembahasannya
adalah seputar persoalan-persoalan doktrin teologi dan aqidah, akhlak dan
ibarat keteladanan dari proses-proses perjalanan hidup umat-umat terdahulu.[6]
Ada
beberapa hal yang menyebabkan ajaran Rasulullah SAW. tidak diterima masyarakat
Mekkah terutama dalam aspek ekonomi.
1. Ajaran tauhid menyalahkan kepercayaan dan praktek menyembah
berhala. Bila menyembah berhala dihapuskan maka patung berhala tidak akan laku
lagi. Hal ini mengancam kehidupan ekonomi produsen berhala. Karena itu ajaran
tauhid ditolak oleh masyarakat penyembah berhala.
2. Ajaran Islam mengecam perilaku ekonomi masyarakat Mekkah yang
mempunyai ciri pokok menumpuk harta dan mengabaikan fakir, miskin serta anak
yatim.
Surat
al-Maun, sebuah surat yang amat membangkitkan kemarahan orang Mekkah dan
sekitarnya karena surat ini menegaskan bahwa “sembahyang” yang mereka lakukan
itu tidak berguna bahkan pembohongan terhadap agama apabila tidak disertai
penyantunan terhadap fakir miskin dan anak yatim. Percuma saja orang mengaku
beragama apabila tidak mau memikirkan kehidupan ekonomi rakyat yang sengsara.
Dalam surat itu disebutkan:
“Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi Makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya...”
Sistem
ekonomi yang sudah mapan itu akan mengurangi keleluasaan orang-orang kaya yang
hendak semaunya terhadap orang miskin uuntuk dijadikan budak. Karena kritik
pedas alquran itu maka terhadap Nabi dan sebagian sahabat beliau pernah
diadakan boikot ekonomi selama lebih kurang 3 tahun.
Tampaknya syariat Islam periode Mekkah
benar-benar ingin menunjukkan konsep keadilan ekonomi. Struktur masyarakat
kapitalis yang dipertahanan di periode Mekkah ini dikritik habis oleh syariat
Islam. Islam juga menunjukkan bahwa riba yang merupakan prinsip ekonomi mereka
adalah cara palsu dalam meningkatkan harta. Riba yang mereka praktekkan
bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan. Sebaliknya, syariat Islam
menawarkan zakat. Ayat periode Mekkah yang membicarakan ini adalah surat al-Rum
ayat 39 yang berbunyi:
“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang
kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang
yang melipat gandakan (pahalanya).”
Karena itu pada periode Mekkah sudah
turun ayat tentang zakat. Hanya apilkasi zakat periode ini karena masih dalam
proses penataan aturan, maka belum sedetail di periode Madinah.
Zakat adalah perilaku ekonomi yang
amat simpatik. Kebaikan kepada orang lain melalui zakat akan kembali kepada
pelakunya. Ini merupakan pengajaran yang amat halus dari alquran, agar disadari
bahwa penghargaan, penghormatan dan kebaikan dari orang lain yang diharapkan
itu sebenarnya proyeksi dari kebaikan kita kepada mereka. Sebaliknya penindasan
dan sikap kasar kita hanya akan mendatangkan kebencian mereka yang suatu saat
pasti akan diterima. Maka benar bahwa berbagai peraturan di periode Mekkah
lebih didominasi oleh muatan pendidikan dan akhlak yang amat lembut.[7]
B. Periode Madinah
Periode Madinah ialah sejak Rasulullah SAW. hijrah dari
Mekkah ke Madinah hingga wafatnya tahun 11 H/632 M, yakni sekitar 10 tahun
lamanya. Pada fase ini Islam sudah kuat, kuantitas umat Islam sudah banyak dan
telah mempunyai tata pemerintahan tersendiri sehingga media-media dakwah
berlangsung dengan aman dan damai.
Keadaan seperti inilah yang mendoronh perlu adanya tasyri’
dan pembentukan perundang-undangan yang mengatur perhubungan antara individu
dari suatu bangsa dengan bangsa lain, dan mengatur perhubungan atau kontak
komunikasi dan interaksi mereka dengan kalangan non muslim, baik di masa damai
maupun di masa perang.
Oleh karena itu, maka di Madinah disyariatkanlah berupa
hukum-hukum pernikahan, perceraian, warisan, perjanjian, hutang-piutang,
kepidanaan dan lain-lain. Dengan demikian pada surat-surat Madaniyah di dalam
alquran seperti surat al-baqarah, ali imran, an-nisa, al-maidah, al-anfal,
at-taubah an-nuur, al-ahzab banyak memuat ayat-ayat pembahasan hukum, di
samping memuat ayat-ayat tentang akidah, akhlak dan kisah-kisah.[8]
Dapat dimengerti mengapa produk hukum ada di periode
Madinah, karena:
1. Dalam periode
ini diperkirakan orang Islam sudah memiliki modal akhlak/mental dan akidah yang
kuat sebagai landasan melaksanakan tugas-tugas lain.
2. Hukum itu
akan dapat terlaksana bila dilindungi oleh kekuatan politik di periode Madinah.
Rasulullah dipercaya oleh masyarakatnya sebagai pemegang kekuasaan politik
karena keberhasilannya menyelesaikan perselisihan di masyarakat. Masyarakat
Madinah yang kemudian terdiri atas penduduk asli (Anshar) dan imigran dari
Mekkah (Muhajirin) tidak lagi merasakan kesukuan sebagai ikatan solidaritas,
tetapi kepercayaan agama.[9]
C. Sebab-sebab
timbulnya keputusan hukum
Seringkali
hukum Islam ditetapkan berdasarkan peristiwa tertentu atau pertanyaan sahabat
kepada Nabi, kemudian turunlah ayat Al-qur’an. Misalnya:
a. Hukum tentang kewajiban menyerahkan harta warisan kepada
anak yatim (An-Nisa:2).
b. Derajat wanita. Menurut adat jahili, wanita yang
ditinggal mati suaminya tidak mempunyai hak warisan, bahkan dirinya dijadikan
harta warisan oleh kaum pria yang mempunyai hubungan darah dengan suami yang
meninggal itu. Apakah akan dikawani sendiri, atau dikawinkan dengan orang lain
dengan harapan, maharnya diterima oleh kaum pria tersebut. Kemudian turunlah
ayat Q.S. An-Nisa:19.
Atas dasar
wahyu yang turun itu Nabi menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul dalam
masyarakat Islam. Tetapi terkadang ada persoalan yang penyelesaiannya tidak
disebut oleh al-qur’an. Dalam hal ini Nabi berijtihad. Kalau ijtihadnya tidak
tepat, turun ayat al-qur’an yang menjelaskan hukum yang sebenarnya. Tetapi
kalau ijtihadnya benar ayat al-qur’an tidak perlu turun. Dengan demikian,
ungkapan bahwa Nabi itu ma’shum (Nabi terjaga dari kesalahan) adalah dalam
pengertian.[10]
D. Pengaruh Tasyri’ yang
Diwariskan oleh Periode Rasulullah SAW
Sumber penetapan hukum
Islam yang pertama adalah wahyu Allah yang daripadanya timbul ayat-ayat hukum
dalam al-qur’an. Sedang sumber kedua adalah ijtihad Rasul yang daripadanya
timbul hadits-hadits hukum. Koleksi ayat-ayat dan hadits-hadits hukum inilah
sebagai hasil dari pengaruh tasyri’ yang diwariskan oleh periode Rasul SAW. Dan
inilah yang menjadi undang-undang dasar bagi umat Islam. Ia merupakan tempat
rujukan bagi perundang-undangan dalam islam dan tempat rujukan setiap aktivitas
para mujtahid. Kalau terjadi suatu peristiwa, sedang ketetapan hukumnya sudah
ada yang jelas dalam nas, baik dalam ayat-ayat ataupun hadits-hadits Nabi SAW,
maka tidak ada jalan untuk menggunakan kekuatan ijtihad bagi seorang mujtahid
atas peristiwa hukum itu. Akan tetapi kalau tidak ada ketetapan hukumnya yang
digariskan dari nas itu maka disitulah terdapat lapangan ijtihad. Hanya saja
bagi seorang mujtahid dalam ijtihadnya, harus berjalan sesuai dengan koleksi
nas (ayat dan hadits) di atas dengan cara qiyas atau
analogi, yakni mengambil persamaan illat atau sebab pada kejadian baru itu
dengan sesuatu yang sudah ada ketetapan hukumnya, atau mengambil petunjuk dari
jiwa nas itu, ma’qul (rasional)-nya dan prinsip-prinsip umumnya.
Tegasnya bahwa hasil ijtihad dari seorang mujtahid itu tidak boleh bertentangan
dengan nas itu sendiri atau menyalahi prinsip-prinsipnya.[11]
D. Perbedaan Ayat Mekkah
dengan Ayat Madinah
Telah diuraikan, bahwa alqur’an turun dalam dua muddah:
Masa Mekkah dan Masa Madinah.
Ayat-ayat yang turun dalam dua masa itu, satu sama lain
ada perbedaannya. Di antara perbedaan-perbedaan antara jenis ayat itu, yaitu:
1.
Pendek dan panjang
Adapun ayat-ayat Mekkah pada umumnya pendek-pendek,
sedangkan ayat Madinah panjang-panjang. Hal ini dapat dibuktikan, bahwa
surat-surat Madinah melebihi sedikit dari 11/30 alqur’an dan bilangan ayatnya
1.456, artinya sedikit lebih dari separuh kumpulan seluruh ayat alqr’an.
2.
Berbeda pada Khitab
Dalam ayat-ayat Madinah, ada galibnya kepada orang banyak
di-khitab-kan dengan panggilan: “ Wahai orang-orang yang beriman”, dan sedikit
sekali dengan sebutan: “Wahai manusia!” Sdangkan khitab yang terdapat dalam
ayat Mekkah sebaliknya.
3.
Dalam Ayat Mekkah tak ada
Tasyri’
Dalam ayat-ayat Mekkah tidak terdapat sedikit pun unsur
“Tasyri’ terurai”, tetapi sebahagian besar ayat-ayatnya mengenai iman, tabsyir,
tanzir, akhlak. Sedangkan “Tasyri’ terurai” pada umumnya terdapat dalam
ayat-ayat Madinah.
Isi alqur’an terdiri dari tiga kelompok masalah, yaitu:
a). Ayat-ayat yang berhubungan dengan keimanan dan ini
termasuk bidang pembahasan usuluddin.
b) ayat-ayat yang berhubungan dengan pekerjaan hati dan
perasaan, seperti anjuran berkhlak mulia, dan ini termasuk dalam pembahasan
ilmu akhlak
c) ayat-ayayt yang
berhubungan dengan pekerjaan anggota badan yang mengenai denngan suruh dan
larang serta takhyir, dan ini
termasuk bidang pembahasan para ahli hikum (fuqaha).[12]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Periode
Rasulullah SAW. ini berlangsung relatif singkat tidak lebih dari 22 tahun
beberapa bulan. Namun pengaruhnya sangat besar dan penting, karena telah
mewariskan beberapa ketetapan hukum dalam alquran dan sunnah. Periode ini
dibagi menjadi dua, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah.
Seringkali hukum Islam
ditetapkan berdasarkan peristiwa tertentu atau pertanyaan sahabat kepada Nabi,
kemudian turunlah ayat alqur’an. Misalnya:
a. Hukum tentang kewajiban menyerahkan harta warisan kepada
anak yatim
b. Derajat wanita.
Koleksi ayat-ayat dan
hadits-hadits hukum inilah sebagai hasil dari pengaruh tasyri’ yang diwariskan
oleh periode Rasul SAW. Dan inilah yang menjadi undang-undang dasar bagi umat
Islam. Ia merupakan tempat rujukan bagi perundang-undangan dalam islam dan
tempat rujukan setiap aktivitas para mujtahid.Tegasnya bahwa hasil ijtihad dari
seorang mujtahid itu tidak boleh bertentangan dengan nas itu sendiri atau
menyalahi prinsip-prinsipnya.
[1]Abdul Wahab Khallaf.Sejarah Pembentukan
dan Perkembangan hukum Islam.Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.2001.h.7
[2]Ahmad Hanafi.Pengantar dan Sejarah
hukum Islam.Jakarta:Bulan Bintang.1970.h.181
[3]A.Hasjmy.Sejarah Kebudayaan Islam.Jakarta:Bulan
Bintang.1995.h.113
[4]Abdul Wahab Khallaf..Sejarah
Pembentukan dan Perkembangan hukum Islam.h.8-9
[5]Muhammad Zuhri.Hukum Islam Dalam
Lintasan Sejarah.Jakarta:PT RajaGrafido Persada.1996.h.9
[6]Abdul Wahab Khallaf.Sejarah Pembentukan
dan Perkembangan Hukum Islam.h.9
[7]Muhammad Zuhri.Hukum Islam dalam
Lintasan Sejarah.h.10-13
[8]Abdul Wahab Khallaf.Sejarah Pembentukan
dan Perkembangan Hukum Islam.h.9
[9]Muhammad Zuhri.Hukum Islam dalam
Lintasan Sejarah.h.13-14
[10]Muhammad Zuhri.Hukum Islam Dalam Lintasan
Sejarah.h.23-24
[11]Abdul Wahab Khallaf.Sejarah Pembentukan
dan Perkembangan hukum Islam.h.28.
[12]A.Hasjmy.Sejarah Kebudayaan Islam.Jakarta:Bulan
Bintang.1995.h.120-121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar